SUMENEP – Kepala Desa (Kades) Sapeken, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Joni Junaidi, akhirnya angkat bicara terkait laporan dugaan penganiayaan yang dilayangkan warganya sendiri, Nadia (21), pada Kamis (14/8/2025).
Nadia, yang dikenal masyarakat dengan julukan Si Tato karena tubuhnya dipenuhi gambar tinta permanen, melaporkan sang Kades ke Polsek Sapeken. Namun, Joni membantah tuduhan tersebut dan menyebut apa yang terjadi hanyalah kesalahpahaman yang kemudian dibesar-besarkan.
Kronologi Versi Kades
Joni menjelaskan, pertemuannya dengan Nadia sudah terjadi sejak 2024. Saat itu, ia mendapat laporan warga bahwa ada seorang perempuan berpenampilan mencolok di Pelabuhan Sapeken.
“Warga melapor ada perempuan berambut pirang, bertato, pakai rok mini, tangtop, sambil merokok dengan seorang laki-laki. Karena penasaran, saya bersama Kadus turun langsung mengecek,” ungkapnya, Rabu, 20/82025.
Setibanya di lokasi, Kadus mengenali perempuan tersebut sebagai Nadia, warganya yang sudah lama tinggal di Bali. Joni kemudian membawa Nadia ke kantor desa untuk dimintai keterangan.
“Dia mengaku bekerja di perusahaan tato. Saat ditanya soal ibadah, dia bilang sudah tidak shalat. Bahkan ketika ditanya soal syahadat, dia jawab sudah lupa. Hal itu membuat Kadus saya marah karena dianggap melecehkan agama,” terangnya.
Agar tidak menimbulkan kegaduhan, Joni membuat surat perjanjian yang berisi kewajiban Nadia untuk berpakaian sopan setiap berada di Sapeken. Menurutnya, hal itu penting karena masyarakat Sapeken sangat menjunjung norma agama dan adat istiadat.
Insiden di Pelabuhan
Beberapa bulan setelahnya, Nadia kembali ke Sapeken dengan penampilan yang sama. Hingga pada Rabu (13/8), Joni kembali berjumpa dengan Nadia di pelabuhan.
“Saya tanya baik-baik kenapa tidak berpakaian sopan sesuai perjanjian. Jawabannya sinis, dengan tatapan mata melotot sambil makan cilok. Karena merasa tidak dihargai, saya spontan menepuk wajahnya. Itu pun hanya menyerempet, mengenai cilok yang dia makan. Jadi tidak benar kalau disebut penganiayaan,” jelas Joni.
Ia menegaskan bahwa tindakannya murni spontanitas dan sama sekali tidak bermaksud menyakiti. “Ini faktanya, bukan seperti yang diberitakan,” tandasnya.
Pasca insiden itu, Joni mengaku dipanggil oleh tokoh agama setempat, KH Ad Dailamy Abuhurairah. Menurutnya, tokoh tersebut justru mendukung langkahnya.
“Beliau mendukung, karena Sapeken punya dua program besar: Sapeken Bersatu dan Sapeken Ibadah. Itu harus dijaga agar tetap menegakkan akhlak dan norma agama,” tegas Joni.
Di sisi lain, Kapolsek Sapeken AKP Taufik membenarkan adanya laporan dugaan penganiayaan tersebut.
“Benar, ada laporan dari Nadia dengan terlapor Joni Junaidi. Saat ini masih kami proses sesuai prosedur yang berlaku,” ucapnya singkat.
Kasus dugaan penganiayaan yang menyeret nama Kepala Desa Sapeken seharusnya tidak hanya dilihat dari sisi hukum semata. Lebih dari itu, peristiwa ini menjadi cermin betapa pentingnya menjaga norma, adat istiadat, serta nilai agama di tengah gempuran gaya hidup bebas yang dibawa dari luar daerah.
Sapeken selama ini dikenal sebagai pulau yang religius, menjunjung tinggi sopan santun, dan memiliki dua program besar: Sapeken Bersatu dan Sapeken Ibadah. Norma tersebut bukanlah sekadar aturan, melainkan benteng moral yang diwariskan turun-temurun. Maka ketika ada perilaku yang dianggap menyimpang dari tradisi masyarakat setempat, wajar jika kemudian timbul gesekan.
Masyarakat perlu sadar bahwa laporan hukum boleh berjalan, namun jangan sampai melupakan akar persoalan, ada benturan nilai antara budaya lokal dengan gaya hidup modern yang cenderung bebas. Menjaga Sapeken berarti menjaga jati diri, moral, dan agama yang telah diwariskan oleh para leluhur.
Sudah seharusnya setiap warga yang datang atau kembali ke Sapeken menghormati norma yang berlaku.
Pada akhirnya, persoalan ini bukan hanya soal siapa salah dan siapa benar. Ini tentang kesadaran kolektif masyarakat untuk tetap menjaga Sapeken agar tidak kehilangan identitasnya di tengah arus perubahan zaman.