Sumenep – Di tengah gempuran budaya luar dan teknologi digital yang makin masif, SDN Panaongan III, Kecamatan Pasongsongan, punya cara unik dan inspiratif untuk mengenalkan budaya lokal kepada siswanya. Melalui program intrakurikuler bertajuk MALESMAMA (Mari Lestarikan Macapat Madura), sekolah ini berhasil menanamkan cinta budaya sekaligus mencetak prestasi.
Program ini digagas langsung oleh Kepala SDN Panaongan III, Agus Sugianto, S.Pd, yang prihatin melihat makin sedikitnya generasi muda yang mengenal bahkan peduli pada seni Macapat Madura—salah satu kekayaan budaya sastra lisan yang penuh nilai moral dan filosofi kehidupan.
“Budaya itu akar. Kalau akar kita putus, lama-lama identitas juga ikut hilang. MALESMAMA ini ikhtiar kecil agar anak-anak tidak tercerabut dari warisan leluhur,” ujar Agus Sugianto saat ditemui tim.
Uniknya, program ini muncul dari potensi internal sekolah. SDN Panaongan III memiliki salah satu guru yang memang ahli dan mendalami seni Macapat Madura. Kesempatan emas ini dimanfaatkan Agus Sugianto untuk membentuk kelas intrakurikuler khusus, di mana para siswa belajar melagukan tembang Macapat dengan langgam Madura sekaligus memahami nilai-nilai di balik setiap syairnya.
Hasilnya pun membanggakan. Salah satu siswa SDN Panaongan III berhasil meraih Juara III dalam Lomba Tembang Macapat di ajang Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) tingkat Kabupaten Sumenep. Sebuah prestasi yang tidak hanya mengangkat nama sekolah, tapi juga membuktikan bahwa pelestarian budaya bisa sejalan dengan pencapaian akademik dan bakat seni.
Setiap pekan, suasana sekolah terasa berbeda. Suara tembang Macapat terdengar syahdu dari ruang kelas, dinyanyikan oleh anak-anak yang antusias belajar, bukan karena dipaksa, tapi karena merasa bangga jadi bagian dari budaya Madura.
“Kami ingin anak-anak mencintai budaya bukan karena disuruh, tapi karena merasa memiliki. Ketika mereka sudah merasa memiliki, maka budaya itu akan terus hidup di hati mereka,” tambah Agus Sugianto.
Dengan semangat MALESMAMA, SDN Panaongan III membuktikan bahwa pelestarian budaya tidak harus menunggu program besar. Cukup dimulai dari ruang kelas, dari guru yang berdedikasi, dan dari kepala sekolah yang punya visi.
Program ini pun mendapat respons positif dari para orang tua dan masyarakat sekitar. Tak sedikit yang berharap agar program seperti MALESMAMA bisa ditiru oleh sekolah-sekolah lain di Madura, bahkan menjadi gerakan bersama untuk menjaga jati diri generasi muda.
Macapat Madura bukan hanya dilestarikan—tapi dihidupkan kembali. Dan itu dimulai dari SDN Panaongan III.